Fenomena Kejujuran dan Modernitas
Kung Fu Tse pernah bilang bahwa golongan manusia yang paling
jujur sedunia adalah petani. Petani selalu bercermin pada alam. Alam tidak
pernah berbohong: matahari selalu bersinar di siang hari; gelap selalu hadir di
malam hari. Apa yang dilakukan oleh petani adalah manifestasi dari dalam lubuk
hatinya. Antara kata hati dan perbuatan adalah kongruen atau selaras. Yang
lahir pedoman bagi yang batin, begitulah istilah
Buya Hamka dalam bukumya “
Tasawuf
Modern”. Apakah
kejujuran itu hanya dimiliki atau didominasi oleh kalangan
petani saja, sedangkan profesi dan golongan lainnya tidak? Silahkan jawab
sendiri oleh masing-masing pribadi secara introsfektif.

Jujur itu indah namun tak banyak orang melakukannya.
Kejujuran
di era modernitas seperti saat ini merupakan barang langka yang sangat mahal
harganya. Kebanyakan orang lebih suka berlaku tidak jujur demi mempertahankan
gengsi, prestise dan harga diri. Mayoritas manusia modern memiliki asumsi dan
stigma sesat bahwa
kejujuran lebih cepat membawa dirinya ke kuburan, jangan berlaku
jujur kalau tidak mau terlindas oleh zaman,
kalau berlaku jujur kagak bisa makan dan
memenuhi kebutuhan. Manusia modern lebih suka mencari keuntungan dengan jalan
pintas, mental menerabas tanpa mau bersusah payah berusaha, melakukan
konspirasi dan persekongkolan untuk membunuh karakter orang yang tidak disukai,
melakukan korupsi berjamaah demi mempertahankan gaya hidup snobisme yang
serakah bagaikan monyet. Lihat saja monyet kalau makan: meskipun mulutnya sudah
penuh dengan makanan, tangan kanan dan kirinya serta kedua kakinya pun masih
sempat-sempatnya menggenggam makanan yang tersisa. Dimana-mana orang bertindak
bagaikan monyet: di pemerintahan, di lingkungan sekitar, di kantor bahkan
mungkin kita sendiri pun melakukan hal yang sama. Pantas saja
Charles Darwin
pernah bilang dalam bukunya “
The origin of the species” bahwa manusia adalah
keturunan monyet, nyet. Meski bagi kita sebagai umat yang beragama mungkin karakter
monyet itu yang lebih tepat.

Kita seringkali terjebak dalam
paradox: di satu sisi kita
merindukan
kejujuran menggejala dalam setiap aspek kehidupan, di sisi lain kita
sering menjadi korban ketidak jujuran dan pengkhianatan orang lain. Kita cinta
perdamaian namun acapkali kita menjadi sasaran kebencian orang lain. Memang
terasa berat untuk merunut benang kusut (
labirin) kehidupan ini.
Seringkali
kita hanya bisa mengurut dada karena lelah menghadapi “kejahatan” yang menimpa
kita. Dalam hal ini
Gabriel marcel berkata dalam bukunya “
Creative Fidelity”: “We
find the evil without remedy which exist in the world”. (Kita seringkali
menemukan kejahatan yang ada di dunia tanpa bisa berbuat apa-apa). Cape dech. Baca
juga postingan ane sebelumnya
Iwan Fals dan Kongkalikong.
No comments:
Post a Comment