December 03, 2012

Kejujuran dan Modernitas


Fenomena Kejujuran dan Modernitas

Kung Fu Tse pernah bilang bahwa golongan manusia yang paling jujur sedunia adalah petani. Petani selalu bercermin pada alam. Alam tidak pernah berbohong: matahari selalu bersinar di siang hari; gelap selalu hadir di malam hari. Apa yang dilakukan oleh petani adalah manifestasi dari dalam lubuk hatinya. Antara kata hati dan perbuatan adalah kongruen atau selaras. Yang lahir pedoman bagi yang batin, begitulah istilah Buya Hamka dalam bukumya “Tasawuf Modern”. Apakah kejujuran itu hanya dimiliki atau didominasi oleh kalangan petani saja, sedangkan profesi dan golongan lainnya tidak? Silahkan jawab sendiri oleh masing-masing pribadi secara introsfektif.
Jujur itu indah namun tak banyak orang melakukannya. Kejujuran di era modernitas seperti saat ini merupakan barang langka yang sangat mahal harganya. Kebanyakan orang lebih suka berlaku tidak jujur demi mempertahankan gengsi, prestise dan harga diri. Mayoritas manusia modern memiliki asumsi dan stigma sesat bahwa kejujuran lebih cepat membawa dirinya ke kuburan, jangan berlaku jujur kalau tidak mau terlindas oleh zaman,  kalau berlaku jujur kagak bisa makan dan memenuhi kebutuhan. Manusia modern lebih suka mencari keuntungan dengan jalan pintas, mental menerabas tanpa mau bersusah payah berusaha, melakukan konspirasi dan persekongkolan untuk membunuh karakter orang yang tidak disukai, melakukan korupsi berjamaah demi mempertahankan gaya hidup snobisme yang serakah bagaikan monyet. Lihat saja monyet kalau makan: meskipun mulutnya sudah penuh dengan makanan, tangan kanan dan kirinya serta kedua kakinya pun masih sempat-sempatnya menggenggam makanan yang tersisa. Dimana-mana orang bertindak bagaikan monyet: di pemerintahan, di lingkungan sekitar, di kantor bahkan mungkin kita sendiri pun melakukan hal yang sama. Pantas saja Charles Darwin pernah bilang dalam bukunya “The origin of the species” bahwa manusia adalah keturunan monyet, nyet. Meski bagi kita sebagai umat yang beragama mungkin karakter monyet itu yang lebih tepat.

Kita seringkali terjebak dalam paradox: di satu sisi kita merindukan kejujuran menggejala dalam setiap aspek kehidupan, di sisi lain kita sering menjadi korban ketidak jujuran dan pengkhianatan orang lain. Kita cinta perdamaian namun acapkali kita menjadi sasaran kebencian orang lain. Memang terasa berat untuk merunut benang kusut (labirin) kehidupan ini.   Seringkali kita hanya bisa mengurut dada karena lelah menghadapi “kejahatan” yang menimpa kita. Dalam hal ini Gabriel marcel berkata dalam bukunya “Creative Fidelity”: “We find the evil without remedy which exist in the world”. (Kita seringkali menemukan kejahatan yang ada di dunia tanpa bisa berbuat apa-apa). Cape dech. Baca juga postingan ane sebelumnya Iwan Fals dan Kongkalikong.

No comments:

Post a Comment