December 08, 2012

Dunia Marketing

Seputar Dunia Marketing
Salah satu profesi yang sering dipandang sebelah mata adalah marketing. Padahal ujung tombak atau garda terdepan (avant garde) keberlangsungan hidup (survival) sebuah perusahaan adalah terletak di pundak marketing. Marketing merupakan jembatan antara perusahaan dengan customer atau konsumen. Tak akan ada penjualan produk tanpa intervensi atau campur tangan marketing. Adalah sebuah hil yang mustahal (istilah almarhum Asmuni Srimulat) akan terjadinya sebuah deal atau kesepakatan yang berujung pada transaksi jual beli tanpa kehadiran marketing. Terlebih lagi dalam dunia usaha perkreditan. Namun celakanya, posisi marketing (baca: sales) kurang dihargai baik itu di mata masyarakat maupun perusahaan itu sendiri. Ketika marketing mengetuk pintu sebuah rumah, maka pandangan sinis dan meremehkan seringkali ditemukan. bahkan tidak jarang tuan rumah langsung menutup pintu ketika terlihat olehnya seorang marketing sedang menuju rumahnya. Lebih celaka lagi, di mata perusahaan pun posisi marketing hanya dihargai sebatas dia mampu memberikan omzet bagi perusahaan. Kebanyakan perusahaan hanya menempatkan marketing secara fungsional-pragmatis, selagi dia produktif, maka kompensasi dan komisi akan diberikan. Jika tidak, maka seorang marketing akan gigit jari. Marketing ibarat anak tiri perusahaan.  Sedangkan anak kandung perusahaan perkreditan adalah surveyor (analis kredit) dan kolektor. Kenapa demikian parahnya posisi seorang marketing?

Image dan kultur di Indonesia menganggap posisi marketing bukan pribadi yang memiliki skill dan kemampuan. Seorang marketing sejati tidak dilahirkan namun diciptakan sendiri oleh pengalaman dan kebutuhan hidup.Marketing unggulan tidak dicetak di bangku sekolah, namun ditempa oleh pergulatan dan keringat bertahun-tahun lamanya. Sehingga banyak orang tua  yang tidak menghendaki anaknya menjadi seorang marketing paralel dengan tak ada satupun seorang anak yang bercita-cita menjadi seorang marketing. Kebanyakan anak ketika ditanya ingin menjadi apa ketika besar nanti? Jawabnya adalah ingin menjadi dokter, insinyur, guru atau pengusaha, dll.
Lain halnya dengan dunia Barat dan Amerika yang memberi apresiasi yang tinggi terhadap posisi marketing. Dalam pandangan masyarakat Barat dan Amerika, seorang marketing dihargai bagaikan "dewa penolong" yang mampu menghantarkan dan memenuhi kebutuhan mereka akan sesuatu produk tanpa harus membuang waktu, energi untuk pergi ke sebuah store atau toko. Begitu juga di mata perusahaan disana, posisi marketing dianggap sebagai mediasi atau fasilitator yang membantu menjualkan produk perusahaan tanpa harus mengeluarkan biaya (cost) yang tinggi seperti biaya promosi dan iklan di media cetak dan elektronik. Atas dasar penghargaan dan apresiasi yang tinggi terhadap posisi marketing di mata konsumen dan perusahaan, maka lahirlah Joe Girard sebagai marketer mobil terkenal di dunia, Lee Iacocca sebagai pionir perusahaan otomotif Ford dan Chevrolet, Dale Carnegie yang piawai menyerukan orang untuk berjuang tanpa batas, etc.

Lantas, kapan atuh marketing di Indonesia akan dihargai layaknya di dunia Barat dan Amerika? Tidakkah pemilik dan pemimpin perusahaan di Indonesia menyadari bahwa bagaimana juntrungnya eksistensi perusahaan tanpa kehadiran divisi marketing. Akankah mereka mengakui bahwa corong dan terompet perusahaan adalah marketing yang berbusa-busa meyakinkan kehebatan dan keunggulan produk perusahaan yang dijajakannya kepada customers. Sampai kapan posisi marketing selalu dijadikan kambing hitam dan obyek penderita ketika omzet perusahaan menjadi anjlok? Lebih celaka lagi di dunia usaha perkreditan, seorang marketing hanya bisa menelan ludah melihat euforia divisi surveyor dan kolektor yang menerima gaji tetap, sementara dirinya hanya menerima komisi penjualan yang tak seberapa jika dibandingkan dengan keringat bercucuran di setiap harinya.

Hapuskan kepongahan dan kesombongan divisi surveyor dan kolektor yang semau gue menolak aplikasi demi alasan keamanan padahal hanya menutupi jiwanya yang pengecut. Retool dan pecat divisi surveyor dan kolektor yang tidak memiliki hati nurani, kurang improvisasi dan kaku. Jangan merekrut surveyor dan kolektor yang memiliki track-record (rekam-jejak) yang buruk yang hanya bisa berkolaborasi dengan marketing yang mbebek dan menjadi algojo alias sang jagal bagi marketing yang tidak dikenalnya. Bukankah posisi surveyor adalah dewan arbitrase atau layaknya sang wasit yang mensahkan atau tidaknya sebuah gol dalam pertandingan sepak bola. Yang jelas, kriteria seorang surveyor adalah orang yang pernah menggeluti dunia marketing dan penagihan, dia seorang yang independent/netral, tidak memiliki vested-interest, memiliki maturation/kematangan dalam menilai melalui indra keenamnya, tidak penakut dan cari aman, mempunyai visi ingin memajuka perusahaan. Perusahaan kredit akan sulit berkembang dan maju jika memelihara surveyor yang memble dan penakut. Begitu juga sebaliknya, perusahaan akan hancur kalau memelihara surveyor yang sembrono dan hantam kromo. Hargai divisi marketing sebagai anak kandung yang pernah hilang. Buang saja divisi surveyor dan kolektor yang mBalelo dan menuntut banyak tanpa menunjukkan prestasi dan loyalitas yang tinggi. lebih baik baik buang semua parasit dan benalu yang menghambat tumbuh dan berkembangnya sebuah pohon perusahaan yang akan berbuah lebat di kemudian hari. Restrukturisasi dan rasionalisasi (perampingan) mampu memangkas beban biaya yang tidak diperlukan. Di era digital, pekerjaan 2-3 orang bahkan lebih bisa tuntas hanya oleh satu orang saja sehingga terhindar dari membengkaknya biaya dan gaji buta, ta. Udah dulu ach ngantuk, baca juga postingan ane sebelumnya Kejujuran dan Modernitas.                   

No comments:

Post a Comment