November 07, 2012

Etos Kerja dan Sang Pemenang

Seputar Etos Kerja dan Sang Pemenang

Henry Bergson (1894-1941) filsuf Perancis terkenal dengan pernyataannya yakni L`elan vital, bahwa inti hidup manusia adaah semangat hidup yang menjadi motivasi dirinya untuk mencapai tujuan yang diharapkan. L`elan vital atau etos kerja pada setiap manusia bahkan bangsa adalah tidak sama, L`elan vital orang Jepang adalah virus N-Ach atau "Need for achievement" (Keinginan untuk maju) yang sangat tinggi, Jepang bisa bangkit dari keterpurukan setelah bertekuk lutut pada sekutu di PD II bukan hanya semangat Bushido-nya saja, melainkan setiap rakyat jepang memiliki virus N-Ach ini. Begitu juga halnya dengan bangsa Jerman yang banyak melahirkan tokoh-tokoh besar dunia seperti Karl Marx, Albert Einstein, Daimler-Benz, oppenheimer dan secara ironis adalah Adolf Hitler, karena mereka memiliki filsafat hidup "Arbeit mach Frei", bekerja adalah sumber kebebasan, kepercayaan diri dan simbol kekuatan. Bangsa Jepang dan Jerman pun telah terbukti sebagai pelopor produk yang mendunia seperti Honda, Mitsubishi, Mercedez, Opel dan Volkswagen. Mereka dikenal sebagai pemenang bukan sebagai pecundang di percaturan dunia hingga saat ini.


Lalu bagaimana dengan bangsa kita, bangsa Indonesia? Bangsa Indonesia dikenal dunia setelah mampu mengusir penjajah Belanda hanya dengan bambu runcing. Lalu apalagi? Bangsa kita terkenal di dunia karena telah melahirkan sosok BJ. Habibie yang menjadi wakil presiden industri pesawat terbang di jerman, Messerschmidt yang selanjutnya membuka industri pesawat terbang di negeri sendiri yakni Nurtanio (kini PT. DI), meski pada suatu waktu pesawat terbang ciptaannya pernah ditukar dengan beras ketan oleh salah satu negara Asia Tenggara. Apakah bambu runcing dan CN-235 sebagai simbol etos kerja bangsa Indonesia? Saya pikir ya. Namun kenapa hingga saat ini Indonesia belum juga tampil sebagai "macan dunia" atau "macan Asia"? Koentjaraningrat dalam bukunya "Kebudayaan dan Mentalitet Bangsa Indonesia" menjawabnya dengan singkat yakni bangsa Indonesia adalah cepat puas diri dan terlalu dimanja oleh keadaan. Bangsa Indonesia merasa puas dengan proklamasi kemerdekaan, setelah itu hidup seperti biasanya "mangan ora mangan asal kumpul" bukan "kumpul ora kumpul asal mangan". Celakanya, modal buat makan adalah pinjam alias ngutang. sedangkan potensi alam tidak tergarap secara optimal, bahkan hanya mengandalkan "profit-sharing" alias bagi hasil yang tidak sepadan. Itu pun masih sempat dikorup oleh para "Menak Jinggo". Maka jadilah negara kita terkenal sebagai negara pengutang terbanyak di urutan ke-3 dan negara terkorup nomer  3 juga di dunia. Ndilallahi, kekayaan alam di perut bumi Indonesia masih cukup untuk mencicil bunga utang yang trilyunan rupiah.

Bagaimana nasib anak-cucu kita di masa depan? Jangan khawatir bro en zus, Tuhan pasti akan memberi rizki kepada makhluk-NYA. Cuman, kita harus bisa menanamkan sifat jujur dan etos kerja yang tinggi pada anak-cucu kita sedini mungkin. Tanamkan kepada anak-cucu kita ahlakul kariimah seperti yang dicontohkan Rosululloh.  Jangan beri kesempatan anak-cucu kita untuk meniru watak dan karakter yang tidak terpuji dan jahat seperti sering ditayangkan di berita media cetak dan elektronik. Kita sering geregetan ketika melihat koruptor dan penjahat yang masih sempat-sempatnya cengar-cengir di depan kamera, Saya jadi teringat dengan pernyataan Albert Camus, filsuf eksistensialis dalam bukunya "Sampar": "Tak ada seorang pun yang mengaku bahwa dirinya pernah berbuat jahat. Bahkan seorang pembunuh berdarah dingin pun tidak merasa dirinya telah berbuat jahat, karena ketika dia membunuh bibirnya dalam keadaan tersenyum". Nach lho...puyeng bukan...??!!! udah ya...ngantuk nich. Jangan lupa baca postingan ane sebelumnya "Dilemma dan decision maker" di blog ini.                    

No comments:

Post a Comment