September 22, 2012

Jokowi-Basuki dan Kita

Sekilas Pandang Tentang Kekuasaan, Jokowi-Basuki dan Kita

Jokowi-Ahok
Kekuasan, menurut Bertrand Russell, memiliki pesona, kharisma dan wibawa yang tidak dimiliki oleh profesi lainnya. Seseorang yang berkuasa mampu menjadikan telunjuk dan mulutnya sebagai senjata ampuh untuk memerintahkan sesuatu bagi bawahan atau rakyatnya. Jika bawahan atau rakyatnya mBalelo, maka sanksinya adalah skorsing, penjara dan nyawa. "L'etat es moi", negara adalah aku, begitulah kata raja Louis XIV sang diktator Perancis yang memerintah dengan tangan besi, meskipun pada akhirnya dia harus terbunuh oleh guillotine bersama sang ratu Marie Antoinette akibat Revolusi rakyat Perancis.

Bertrand Russell
 Cikal bakal bagi seseorang untuk berkuasa adalah ambisi dan obsesi. Niccollo Machiavelli dalam bukunya "Il principe" menyebutkan bahwa seorang calon penguasa harus senantiasa gelisah {"galau" menurut istilah sekarang yang sedang populer}mencari 1001 cara agar "keinginan untuk berkuasa", needs to power, wille zur macht {istilah Friedrich Nietsczhe}segera tergapai. Bahkan jika perlu dengan menghalalkan segala cara, "the ends justified the means". Lalu bagaimana pandangan kita tentang hajatan akbar pilkada DKI yang baru saja berakhir dengan kemenangan Jokowi-Basuki? Apakah kemenangan Jokowi-Basuki sudah merupakan "sangkan paraning dumadi" dari Penguasa alam ini? Atau justru sarat dengan ambisi, obsesi tersembunyi yang berakibat buruk dan menjadi boomerang bagi keduanya?




Niccollo Machiavelli
"Power tends to corrupt", kekuasaan cenderung korup, sebuah istilah yang seringkali kita dengar Jokowi-Basuki adalah duet yang sukses memimpin daerahnya masing-masing. Jokowi-Basuki adalah 2 tokoh penguasa lokal yang memiliki kemampuan, kapasitas dan kapabilitas yang luar biasa. Di tengah iklim kekuasaan nasional yang diwarnai dengan tragedi dan komedi dimana hampir separoh penguasa lokal berujung di balik terali besi, maka Jokowi-Basuki menorehkan tinta emas di mata masyarakatnya. Sosok sederhana Jokowi-Basuki menarik simpati dan empati kaum marginal, kaum pinggiran/periferal maupun kalangan elit metropolitan yang senantiasa merindukan figur pemimpin yang mampu menyelesaikan benang kusut atau labirin di wilayah mereka seperti banjir, penggusuran, kemacetan lalu lintas dan patologi sosial.

Pada umumnya, masyarakat kita adalah masyarakat yang mudah trenyuh, sentimentil, irrasional dan mudah bosan. Ketika SBY menjadi wapres "dibegituin" oleh TK, maka masyarakat kita berbondong-bondong menaruh rasa "kasihan", sehingga popularitasnya menanjak dan menjadi RI 1. Namun seiring dengan berjalannya waktu, popularitasnya itu menurun karena banyak kebijakannya yang tidak populis. Begitu juga ketika Megawati  terpilih menjadi RI 1, pada hakikatnya terdongkarak oleh nama besar ayahnya yang "didlolimi" oleh rezim Orba.  Sementara sisi prestasinya untuk memimpin negeri ini tidak diperhatikan secara seksama oleh masyarakat kita. Apakah hal itu juga yang menjadi alasan masyarakat kita memilih Jokowi yang sederhana, "cokrem" {cowok krempeng: istilah remaja jadul tahun 80-an}, merakyat dengan ciri khas baju kotak-kotaknya, dan juga memilih Basuki yang notabene berasal dari kalangan minoritas yang sering mengalami handicap dan birokrasi untuk menjadi pejabat di negeri ini? Semoga asumsi dan pertanyaan  tersebut jauh dari predikat benar, sebab jika benar maka menimbulkan preseden dan akibat yang tidak baik.

Jangan kau mencintai seseorang berdasarkan kasihan karena ketika orang yang engkau kasihani tidak mengasihani dirimu, maka cintamu akan berbalik 180 derajat. Ingat pepatah arab:"Ahbib habiibaka haunamma-'asyaa ayyakuuna baghidloka yaumamma. Abgidh baghidloka haunamma-'asyaa ayyakuuna habiibaka yaumamma". Cintailah orang yang kamu cintai secara sederhana saja-karena bisa jadi suatu saat orang yang kamu cintai akan berubah menjadi kamu benci. Bencilah orang yang kamu benci secara biasa-biasa saja-karena bisa jadi orang yang kamu benci suatu saat akan kamu cintai". Oleh karena itu, semoga masyarakat DKI sungguh-sungguh benar memilih Jokowi-Basuki berdasar pada keyakinan bahwa duet ini mampu memberi solusi bagi permasalahan laten yang dialami mereka sejak bertahun-tahun. Semoga Jakarta menjadi kota Megapolitan yang bebas banjir, bebas macet, bebas premanisme dan membuat aman dn makmur bagi semua penduduknya. Semoga saja "vox populi vox dei', suara rakyat adalah suara Tuhan telah terbukti dan menggejala di bumi DKI ini. Congratulation and proficiate buat Jokowi-Basuki. Semoga engkau berdua mampu mengemban amanah yang berat ini. Udah ah, ngantuk nich. Silahkan baca juga postingan ane sebelumnya Ratu Adil dan Samuel Beckett. Ciao......!!!       .         

No comments:

Post a Comment