LSM: Anugerah atau Bencana?
Pada tahun 80-an beberapa kali penulis ikut Pengajian Padang
Bulan (yasinan) di rumah Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) di bilangan Patangpuluhan yang diselingi dengan
ceramah budaya oleh Cak Nun sendiri atau pakar lainnya seperti (alm) Prof. Dr. Kuntowijoyo, dll. Dalam salah satu ceramahnya yang saya ingat, Cak Nun sangat
prihatin dengan segelintir budayawan/satrawan yang “melacurkan diri” karena menjual
hasil karyanya yang bercerita tentang kemiskinan bangsanya sendiri untuk
kepentingan pribadi kepada pihak LSM atau NGO (Non-Government Organization)
luar negeri. Apalagi pada saat itu ada LSM-LSM (baca: NGO) lokal yang memotret
dan melakukan penelitian tentang ketimpangan social, kaum gelandangan,
masyarakat Kali Code hanya untuk memperoleh bantuan atau donasi dari luar
negeri.
Meski demikian ada beberapa LSM yang boleh dikatakan
memiliki nilai tambah (added-value) seperti “Kelompok Dasakung” yang dikomandani
Bambang Sigap Sumantri, Djoko Krisanjoyo, Yohanes S. Widodo dan Darmaningtyas (alumni Filsafat UGM yang kini menjadi pengamat
transportasi), yang melakukan survey terhadap prilaku “kumpul kebo” pelajar dan
mahasiswa di Yogya yang sangat mengkhawatirkan. Hasil survey kelompok Dasakung
ini membuat “kebakaran jenggot” pemerintah karena dikhawatirkan akan merubah
citra Yogya sebagai “Kota Pelajar” menjadi “Kota Kumpul Kebo”.
Kehadiran LSM pada saat itu hanya menjadi polemik atau pro dan kontra di kalangan
akademisi dan pemerintahan saja. LSM adalah anugerah bagi masyarakat miskin karena
eksistensi masyarakat miskin lebih diperhatikan oleh pemerintah, meski
pemerintah terkesan “terpaksa” karena “malu” oleh pihak LN (baca: IGGI). LSM
sering dianggap "negara dalam negara".
Kini, di era millennium ke III, kehadiran LSM makin merebak
bagaikan jamur di musim hujan. Visi dan misi mereka adalah sebagai social control.
Ruang lingkup tugas dan kewajibannya pun makin mengerucut karena memperjuangkan
hak masyarakat yang tertindas. Meski demikian, ada beberapa LSM yang kerjaannya
meminta proyek atau mencari keuntungan dari ketertindasan masyarakat atas nama kedok
keadilan. Padahal “vested interest” mereka adalah fulus (orang sering bilang
UUD: Ujung-Ujungnya Duit). Yang sering kita lihat dan dengar adalah mereka
menjadi mediator dalam konflik kepentingan antara nasabah dengan pihak
perbankan/leasing. Mereka bisa berpihak kepada nasabah atau kepada pihak
perbankan/leasing. Jika mereka berpihak kepada nasabah, maka mereka akan
mengeluarkan jurus “back-up’, “peti es’ (cooling down), “dispensasi”, dll. Jika mereka menjadi
corong pihak perbankan/leasing/lembaga keuangan, maka mereka akan berubah wujud
menjadi “DC/Debt Collector”, “Pro DC”, dsb.
Kalau sudah begini, siapa yang mereka perjuangkan? Masyarakat yang
tertindas atau perut mereka? Karena tidak sedikit masyarakat tertindas yang
mereka perjuangkan hak-haknya harus keluar biaya yang besar sementara kasus
yang mereka hadapi tetap menggantung. Apalagi jika nasabah tersebut jelas-jelas
menunjukkan “wanprestasi” alias ingkar janji atau melanggar aturan yang sudah
disepakati.
Jadi, menurut anda apakah LSM itu anugerah atau bencana? Apakah
LSM itu momok yang sangat menakutkan atau bak dewa penolong seperti Robin Hood?
Silahkan anda analisa sendiri. Ane sendiri mumet mikirinnya, mending mikirin besok
mau makan apa bukan makan siapa bak politikus disana. Wis yo, yuk dengerin lagunya Sting berjudul "fragile", inspiratif dan sangat menyentuh.
No comments:
Post a Comment